Muqadimah:

Assalamu'alaikum wr.wb."Amal Ma'ruf nahi Mungkar" adalah Tujuan awal Saya membuat Blog ini.. Tanpa bermaksut Menggurui, ataupun merasa lebih suci.. Saya hanya Berharap banyak Pembaca yg mengambil manfaat dari Blog ini, sehingga menjadi ilmu dan Amal bagi Pembaca dan Jariah Ilmu buat saya. Tapi maaf karena saya bukan Ustad ataupun Kyai, dan karena dangkal nya ilmu Saya, postingan di Blog ini banyak saya ambil Dari Sumber yang lain, yang tentu Ilmu nya Lebih kopenten daripada saya. sekali lagi Semoga bermanfaat. Wassalam... Arief Apriyanto

JADWAL WAKTU SHALAT
PADANG :


Jumat, 29 Januari 2016

Terbaginya Sudut Pandang Keagamaan. (bag:1)

Terdapat dalil tentang keabsahan berbeda pendapat dalam bagian furu’iyyah, Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab:“Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka:”Kita tidak shalat sampai tiba di sana.”Yang lain mengatakan:”Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.”Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak mencela yang manapun.
Ibnu Hajar Al-’Asqalani radhiyallahu anhu (dalam Al-Fath) setelah menerangkan sebagian isi hadits ini mengatakan: “Kesimpulan dari kisah ini ialah bahwa para sahabat ada yang memahami larangan ini berdasarkan hakikatnya. Mereka tidak memperdulikan habisnya waktu sebagai penguat larangan yang kedua terhadap larangan pertama yaitu menunda shalat sampai akhir waktunya. Mereka menjadikan hadits ini sebagai dalil bolehnya menunda waktu shalat karena disibukkan oleh peperangan, sama halnya dengan kejadian pada masa itu, dalam peristiwa Khandaq. Juga telah disebutkan dalam hadits Jabir“Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat ashar pada hari perang Khandak setelah matahari terbenam kemudian setelah itu beliau shalat maghrib.”(HR. Bukhari & Muslim)
… Yang lain memahaminya sebagai bermakna kiasan“untuk mendorong mereka agar bersegera menuju Bani Quraizhah”.
Dari hadits ini, jumhur mengambil kesimpulan tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela salah satu dari dua kelompok sahabat tersebut. ”Ibnul Qayyim radhiyallahu anhu mengatakan (Zadul Ma’ad, 3/131): “Ahli fiqih berselisih pendapat, mana dari kedua kelompok ini yang benar. Satu kelompok menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang menundanya. Seandainya kita bersama mereka tentulah kita tunda seperti mereka menundanya. Dan kita tidak mengerjakannya kecuali di perkampungan Bani Quraizhah karena mengikuti perintah beliau sekaligus meninggalkan takwilan yang bertentangan dengan dzahir hadits tersebut.
Yang lain mengatakan bahwa yang benar adalah yang melakukan shalat di jalan, pada waktunya. Mereka memperoleh dua keutamaan; bersegera mengerjakan perintah untuk berangkat menuju Bani Quraizhah dan segera menuju keridhaan Allah Subhanahuwata’ala dengan mendirikan shalat pada waktunya lalu menyusul rombongan. Maka mereka mendapat dua keutamaan; keutamaan jihad dan shalat pada waktunya…..
Sedangkan mereka yang mengakhirkan shalat ‘Ashar paling mungkin adalah mereka udzur, bahkan menerima satu pahala karena bersandar kepada dzahir dalil tersebut. Niat mereka hanyalah menjalankan perintah. Tapi untuk dikatakan bahwa mereka benar, sedangkan yang segera mengerjakan shalat dan berangkat jihad adalah salah, adalah tidak mungkin. Karena mereka yang shalat di jalan berarti mengumpulkan dua dalil. Mereka memperoleh dua keutamaan, sehingga menerima dua pahala. Yang lain juga menerima pahala.” Wallahu a’lam.
Saat tiba waktu shalat ashar, sebagian dari mereka berkata, “Kami tidak mendirikan shalat ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraizhah, seperti yang diperintahkan kepada kami.” Hingga ada sebagian mereka yang shalat ashar ketika sudah masuk waktu isya’. Sebagian yang lain sudah mendirikan shalat ashar di tengah perjalanan ketika waktu ashar telah tiba.
Penulis : Mereka memahami perintah Rasulullah sebagaihakikat zahir isi teksdan ada pula yang memahamisebagai anjuran untuk mempercepat perjalanan dan tetap mengikuti kaedah sholat diawal waktunya. Akan tetapi keduanya ini tidak menjadi permasalahan, ketika ditanyakan ke Rasulullah yang membenarkan kedua-duanya.
Bila dilihat sudut pandang lain, yang satuberdasarkan taklid butadan yang satuberdasarkan pengupasan atau pemahaman ilmuatau dengan kata lain seorang yang mampu berijtihad dalam permasalahan fikih dan yang mampu untuk meneliti berbagai nash-nash syari’at yang terkait berdasarkan pandangan bahwa setiap muslim meskipun dia mengikuti pendapat seorang imam, kyai, ustadz, ataupun da’i, betapa pun tingginya kedudukan orang tersebut, dia tetap berkewajiban untuk mengetahui dalil dari al-Quran dan sunnah yang menjadi landasan orang yang diikutinya tersebut).
Namun dalam kasus diatas kedua-duanya lebih mendekati kebenaran dan Rasulullah sendiri tidak mempermasalahkannya,karena taklid buta yang terjadi diatas adalah taklid buta terhadap nabi sendiri atau boleh juga disebut manusia yang di jamin di surga.
Bagaimana dengan kondisi pada jaman sekarang, perbedaan-perbedaan sudut pandang agama terjadi karena keberanian orang-orang ber-taklid buta pada seseorang yang tidak diketahui apa seorang tersebut adalah orang yang dijamin masuk surga atau bagaimana tingkat pemahamannya terhadap ilmu agamanya dan adanya orang-orang yang pemahaman ilmu berdasarkan keutamaan pengotakan-pengotakan golongan dari pada persatuan umat sedang hal lainnya adalah penisbahan taklid buta ini bukan pada nabi secara langsung.
Bagaimana pula bila perbedaan tersebut karena adanya dua pegangan dalil seperti hadis yang berbeda dan masing-masing dalil tersebut berasal dari rasulullah pula? Sebelum menjawabnya mari Kita melanjutkan masalah kedua dalam perbedaan sudut pandang ini.
Dari Kejadian dalam perang Bani Quraizhah ini, sudah terlihat mulainya bibit-bibit perbedaan sudut pandang keagamaan, dan bedanya pada saat tersebut belum terlalu terlihat campur tangan pihak ketiga di dalamnya seperti pihak munafik, fasik, kafir, sesat atau dimurkai yang ikut mengail diair keruh, barulah setelah wafatnya Khalifah Umar bin khattab (al faruq / pembatas) pintu fitnah jebol dan dimulailah rentetan fitnah-fitnah terhadap Islam
Dalam jaman khalifah Utsman dan Ali, Kaum munafik dan fasik mengembuskan isu :
*.Menuduh Utsman bin affan melakukan Nepothisme dengan pengangkatan banyak pejabat-pejabat dari kalangan sendiri (bani ummayah)
*.Menghembuskan isu tentang pejabat-pejabat yang memperkaya diri sendiri, (mungkin benar ada dalam kalangan bani ummayah yang menjabat, satu dua terlihat memperkaya diri, tapi isu ini pun adalah embusan dari orang-orang yang iri pula)
*.Walau dua masalah ini benar adanya terihat seperti itu tapi isu yang keluar adalah menegatifkan semua yang terlihat, padahal orang-orang yang diangkat sesuai dengan kecakapan bidangnya dan yang memperkaya diri adalah oknum-oknum/individu-individu saja, yang dalam pekerjaan skala besar pasti tidak dapat luput dari adanya orang-orang berjiwa seperti itu namun akhirnya menjadikan seakan-akan kesalahan keseluruhan golongan tersebut
*.Membunuh khalifah Utsman bin affan
*.Pembunuh, pendurhaka dan kaum munafik/fasik ini berlindung di antara kaum muslimin itu sendiri bagai musang berbulu domba, menciptakan tabir/kamuflase yang susah terlihat umat, suatu saat berkata“untuk menguatkan konsolidasi persatuan umat dahulu”dan suatu saat lain berkata“menuntun pembunuhan dahulu”suara tersebut mengekor dari pada suara umat sendiri, namun ekoran ini membakar masalah menjadi lebih ruwet, di satu golongan mendukungadi golongan lain mendukungb, di golonganamenjelekkana, dan membenarkanbnamun melimpahan kesalahan di golonganb, demikian balikkannya, lempar batu sembunyi tangan. Seandainya umat memikirkan hal yang utama adalah persatuan dulu, baru menuntut pembunuhan yang mana pada situasi dan kondisi pada saat tersebut berdasarkan fiqh yang lebih prioritas adalah persatuan umat dahulu sementara sebenarnya penyelesaian si pembunuh bisa ditunda waktunya apalagi adanya tabir teradap kegiatan mereka yang menyusahkan terlihat nyata, maka perbedaan pendapat dikalangan sahabat tidak akan terkontaminasi dan dapat dikendalikan.
Lihatlah dalam kisah perang Jamal dan perang Siffin di bagian lain buku ini, dan lihat petikan tulisan ini : “Dan tidaklah Muawiyah mengingkari sedikit jua akan keutamaan Ali dan hak beliau untuk menjadi khalifah. Akan tetapi pada ijtihad beliau, perlu didahulukan penangkapan ke atas para pembakar api fitnah daripada kalangan para pembunuh Usman radhiallahu ‘anh daripada urusan bai`ah. Dan beliau juga berpendapat dirinya paling berhak untuk menuntut darah Usman.” [al-Fishal, jld. 3, ms. 85]
Di sisi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, beliau bukan sengaja membiarkan para pembunuh Usman berkeliaran secara bebas. Malah beliau mengetahui bahawa mereka itu menyamar diri dan berlindung di kalangan umat Islam serta berpura-pura membai`ah beliau. Akan tetapi dalam suasana umat Islam yang masih berpecah belah, adalah sukar untuk beliau mengambil apa-apa tindakan. Sebaliknya jika umat Islam bersatu, mudah baginya untuk mengambil tindakan ke atas para pembunuh Usman.”
Hal yang harus di sadari bahwa musuh berada di tempat gelap, sedang kedua pihak bertikai berada di tempat terang, dan disadari pula tujuan keduanya adalah sama untuk persatuan umat, tapi sudut pandang berbeda, yang satu mengharap penyelesaian pembunuhan baru bisa umat disatukan sedangkan yang lain bersatu dulu baru dapat melacak pembunuh yang bersembunyi di dalam tubuh umat, sedangkan pembunuh akan sulit terlacak selama kesatuan pendapat umat itu sendiri tidak bersatu karena memang faktor penabiran diri mereka sulit terlacak, maka kekeruhan masalah-masalah ini dan lainnya membuat fitnah para munafik adalah sesuatu yang menakutkan karena tabirnya. Akhir masalah ini munculnya kaum Khawarij, Murjiah, Syiah dan Sunni, kemudian masing-masing memecah diri lagi menjadi aliran/golongan bermacam-macam. Sunatullah!
Dari kedua kejadian ini ada pelajaran, banyak hal pada umat akan menyebabkan terjadi banyak perbedaan, namum rujukannya bisa dilihat dari 2 contoh berbeda diatas tersebut sebagai acuan pegangan baik, bahwa :
1.Sudut pandang taklid buta, yang bisa saja bertaklid kepada seseorang yang tidak dijamin surga atau tidak mengusai kaedah keseluruhan ilmu agama, berbeda dengan taklid kepada nabi dan kepada orang yang dijamin surga. Taklid tidaklah buta, pribadi/individu harus faham juga dari mana datangnya ilmu tersebut, apa sesuai dengan syariat dan nash.
2.Sudut pandang pemahaman keilmuan, baik pemahaman nash dan makna tersiratnya, juga pemahaman fiqh, syariat dan sebagainya bisa jadi lebih utama
3.Ada terbentuk pemahaman yang meng-global menjadi kelompok-kelompok pemahaman, yang mungkin salah satunya karena tingkat ilmu agamanya dan pemahaman makna berbeda terhadap nash.
4.Pentingnya persatuan umat dahulu, dibandingkan penilaian sesuatu yang dapat ditunda penyelesaiannya atau pengguguran pendapat lainnya demi persatuan umat
5.Berhati-hati dalam campur tangan pihak ketiga, entah karena keirian, keuntungan sesaat atau perusakan akhlak, dsb dan terutama bahayanya kaum munafik/fasik (musang berbulu domba)
6.Tidak mengherankan kalau umat terpecah menjadi banyak golongan-golongan
7.Pentingnya “tak berburuk sangka” dan pentingnya “meneliti kabar yang sampai” dan mewujudkan pemikiran dalam keutamaan persatuan umat terlebih dahulu, dan mengesampingkan/menggugurkan perbedaan dari sudut pandang diri sendiri/golongan selama mengganggu kesatuan dan persatuan umat
Bagaimana pula bila perbedaan tersebut karena adanya dua pegangan dalil seperti hadis yang berbeda dan masing-masing dalil tersebut berasal dari rasulullah pula?
Kita ambil contoh keadaan jaman sekarang, yaitu perbedaan saat penentuan awal bulan, awal puasa dan atau Idul Fitri
Hisab
'Hisab secara harfiah 'perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi Matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Dalam Al-Qur'an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Allah memang sengaja menjadikan Matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit (khususnya Matahari dan bulan) maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat Matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.
Rukyat
Salah satu contoh hasil pengamatan kedudukan hilal
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya Matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya Matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan "cahaya langit" sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat.
Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut.
Kriteria Penentuan Awal Bulan Kalender Hijriyah
Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan (yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya Idul Adha).
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat.
Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:
Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.
Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal) menjadi 30 hari".
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.
Wujudul Hilal
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000, PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur'an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra': 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 36-40.
Imkanur Rukyat MABIMS
Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip:
Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
*.Pada saat Matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
*.Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Secara bahasa, Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab.Terdapat 3 kemungkinan kondisi.
*.Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
*.Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
*.Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyat. Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.
Meski demikian ada juga yang berpikir bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini.Hal ini terjadi pada penetapan 1 Syawal 1432 H / 2011 M.
Di Indonesia, secara tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal 29 pada bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab Rukyat (BHR) melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan dilanjutkan dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari. Prinsip Imkanur-Rukyat digunakan antara lain oleh Persis
Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.
Rukyat Global
Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya. Prinsip ini antara lain dipakai oleh Hizbut Tahrir Indonesia.
Perbedaan Kriteria
Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.
Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya Jumat (3 April) mengikuti Arab Saudi, yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat. Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993 dan 1994.Pada tahun 2011 juga terjadi perbedaan yang menarik. Dalam kalender resmi Indonesia sudah tercetak bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011. Tetapi sidang isbat memutuskan awal Syawal berubah menjadi 31 Agustus 2011. Sementara itu, Muhammadiyah tetap pada pendirian semula awal Syawal jatuh pada 30 Agustus 2011. Hal yang sama terjadi pada tahun 2012, dimana awal bulan Ramadhan ditetapkan Muhammadiyah tanggal 20 Juli 2012, sedangkan sidang isbat menentukan awal bulan Ramadhan jatuh pada tanggal 21 Juli 2012. Namun demikian, Pemerintah Indonesia mengkampanyekan bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.
Alangkah sedihnya melihat perbedaan ini, yang sebagian orang menganggap hal yang wajar dan sepi-sepi saja dengan menganggap bagian toleransi, selama hal ini berlangsung perpecahan umat akan terus dan terus terjadi, apakah itu sesuatu yang baik. Tidak kah mereka belajar dari 2 keadaan/peristiwa yang terjadi di masa awal Islam.
Bila kita meminta satu saja kriteria yang dipegang sebagai pilihan, mengingat persatuan umat adalah lebih penting dari hal lainnya, maka para
golongan akan berteriak ini dan itu berbagai alasan, lagi-lagi golonganlah yang tepat dan utama, namun alasan ini juga berfaedah karena siapakah yang berhak dalam kebenarannya dan siapakah yang mempuni dalam ilmu keagamaannya dan putusannya selain nabi. Untuk mewujudkan satu kreteria atau satu keputusan akan susah karena pengaruh kekelompokan dan atau tidak adanya kesatuan umat itu sendiri.
Bilakan 1 hari seperti setahun itu benar pada masa Dajjal layaknya keadaan harian yang sebenarnya, kriteria seperti apa yang akan mereka pegang, dimana bulan tidak tampak selama setengah tahun (6 Bulan)?
Bilakah ilmu astronomi hilang kembali dimana umat kembali ke jaman tanpa satelit dan internet, kriteria apa yang dipakai?
Bilakan orang-orang Islam yang berada di seputar kutub selatan atau utara yang ada mendapat siang berbulan-bulan dan malam berbulan-bulan, kreteria apa yang cocok buat mereka?
Atau perlukah menunggu Imam Mahdi memutuskannya dalam persatuan umat termasuk kriteria yang benar dan menggugurkan kriteria lainnya.
Kita tau dalam hal Islam, Nabi sangat berhati-hati memberikan pemahaman kepada sahabat-sahabat tentang Islam, bilakah nabi tidak tau hal ini, dan tidak menspesifikkan kreteria yang jelas padahal nabi pernah ber-Isra Mi’raj yang notabene juga adalah perjalanan waktu ke masa depan hingga melihat penghuni surga dan neraka yang menuju kesana dimana surga dan neraka terbuka setelah kiamat dan banyaknya tabir masa depan yang nabi mengetahuinya, mungkinkan nabi membiarkan umatnya seperti ini, ataukah karena Sunatullah agar terlihat keimanan dari masing-masing individu umatnya.
Sebagian masyarakat Indonesia sering beranggapan, jika Arab Saudi sudah memasuki 1 Ramadhan atau 1 Syawal, maka Indonesia juga harus mengikutinya. Alasannya, waktu di Indonesia lebih dulu empat jam dibandingkan Arab Saudi. Hal ini sebenarnya merupakan pencampuradukkan dua sistem penanggalan yang berbeda, yaitu penanggalan Masehi yang menggunakan pergerakan matahari dan penanggalan hijriyah yang berdasarkan pergerakan bulan.
Dalam penanggalan Masehi, waktu Indonesia selalu lebih cepat dibandingkan Arab Saudi karena posisi Indonesia yang berada di timur Arab Saudi. Sedangkan dalam penanggalan hijriah, waktu di Indonesia belum tentu lebih dulu dibanding Arab Saudi. Kondisi ini disebabkan karena garis awal bulan selalu berubah setiap bulannya dan bentuknya miring, sehingga ketinggian hilal bisa saja berbeda antar satu tempat dengan tempat lainnya walaupun tempat tersebut memiliki jarak yang boleh dikata tidak terlampau jauh. Hal ini pernah terjadi pada jaman Mu’awiyah sekitar abad ke-7, dimana pada saat itu Syam (Suriah) lebih dulu satu hari memasuki Ramadhan dibandingkan Madinah.
Berdasarkan data astronomis, posisi ketinggian hilal di Arab Saudi kemarin berada pada 0 derajat 12 menit. Karena posisinya yang sudah lebih dari 0 derajat, yang berarti hilal sudah mewujud; maka kalender Ummul Qura’ Kerajaan Saudi menetapkan 1 Ramadhan jatuh pada hari Selasa 09 Juli 2013. Namun karena dalam penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal Kerajaan Saudi menganut sistem Rukyat Murni(harus melihat hilal dengan mata telanjang), maka karena tak satupun Rakyat Saudi yang melihat hilal, maka Pemerintah Saudi menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Rabu 10 Juli 2013.
Ini berbeda dibanding dua tahun lalu (2011), dimana penentuan kalender Ummul Qura’ Kerajaan Saudi pada 1 Syawal 1432 Hijriah sejalan dengan keputusan akhir Kerajaan; yakni jatuh pada hari Selasa, 30 Agustus 2011. Mengapa bisa sejalan? Karena pada Senin (29/8/2011), cukup banyak Rakyat Saudi yang telah melihat hilal, padahal posisi hilal ketika itu hanya kurang dari 1 (satu) derajat. Hal ini membuat banyak astronom, termasuk Mohamad Odeh (suhunya Thomas Djamaluddin) yang mengatakan bahwa mereka (Rakyat Saudi) NGAWUR dan SALAH LIHAT.
Namun tidak seperti Pemerintah dan sebagian ulama Indonesia yang meragukan kesaksian warganya, dengan tegasnya para ulama Arab Saudi yang diikuti oleh Pemerintahnya tidak sedikitpun meragukan kesaksian warganya yang telah melihat hilal. Mereka berpegang teguh dengan sunnah yang telah digariskan oleh Rasulullah Muhammad saw:
“Sahabat Abdullah bin Abbas berkata: Seorang Badwi datang kepada Rasulullah saw lalu berkata: sungguh saya telah melihat hilal (hilal ramadhan). Maka Rasulullah saw bertanya : Apakah engkau mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah? Badwi menjawab: ya. Rasulullah saw bertanya lagi: Apakah engkau mengakui bahwa Muhammad itu Rasulullah? Badwi menjawab: ya. Lalu Rasulullah bersabda: Hai Bilal, beritahulah orang-orang supaya mereka berpuasa.”(H.R Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
“Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: orang-orang berusaha melihat hilal lalu saya memberitahukan kepada Rasulullah saw bahwa saya telah melihat hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa”(H.R Abu Dawud, Daru Qutni dan Ibn Hibban)
Selain itu dikisahkan pula:
“Bahwa suatu rombongan (terdiri dari para pedagang yang berkendaraan onta yang mengarungi padang pasir) datang kepada Rasulullah saw seraya mereka memberikan kesaksian bahwa mereka kemarin telah melihat hilal, maka Rasulullah saw memerintahkan orang-orang untuk berbuka (beridul fitri) dan pada hari berikutnya supaya mereka pergi ke tempat shalat (untuk bershalat Id).”(H.R. Ahmad bin Hambal, Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majah)
Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda:“Shumuu li ru’yatihi wa ufthiruu li ru’yatihi” (shaumlah kalian dengan melihat hilal, dan berbukalah saat awal Syawal dengan melihatnya juga).[HR. Bukhari, Muslim].
Dari hadits-hadits tadi telah jelas menyiratkan bahwa dalam menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal, Islam tidak mengenal sistem demokrasi, dimana suara terbanyak yang harus jadi acuan seperti sidang isbat kemarin! Untuk menentukan bulan baru tidak dibutuhkan kesaksian banyak orang, namun cukup SATU ORANG atau BEBERAPA ORANG SAJA! Asal orang tersebut bersedia bersumpah, maka kesaksiannya dianggap SAH!!
Maka tidak heran rasanya jika seorang mufti (ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada umat) Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Al-Asheikh dalam khotbah Jumatnya di Masjid Imam Turki bin Abdullah menggambarkan orang-orang yang meragukan melihat bulan sebagai ‘orang yang termotivasi dan menyimpang dengan mulut kotor’.
“Ada lidah busuk yang meragukan agama kita yang harus dibungkam. Kami secara ketat mengikuti Sunnah Nabi tentang puasa dan menandai Idul Fitri,” katanya.
Mufti mengatakan syariah sangat jelas dalam prosedur melihat bulan. Dia menambahkan umat Muslim tidak boleh menafikan Sunnah karena adanya pendapat palsu.
Lantas, mengapa Pemerintah RI dan sebagian ulama serta para pakar astronomi tidak mempercayai keterangan para saksi yang melihat hilal?
Alasannya macam-macam serta terkesan dibuat-buat dan mengada-ada. Ada yang mengatakan bahwa dengan ketinggian hilal yang sangat rendah, hilal tidak mungkin dapat terlihat(kalau sudah berpendapat demikian, buat apa dikirimkan Tim Rukyat untuk melihat hilal???).Ada yang mengatakan bahwa kemungkinan besar mata orang yang melihat hilal terkecoh oleh gejala alam. Ada yang mengatakan bahwa mereka tidak disumpah oleh hakim. Ada yang mengatakan bahwa kesaksian mereka berbeda dengan kebanyakan yang lain. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa orang-orang yang melihat hilal tsb adalah orang-orang tua yang pandangannya sudah mulai kabur. Mereka lupa bahwa ada Tuhan yang dapat memberi mukjizat yang dapat membantah semua teori mereka sekaligus menjadikan hal ini menjadi jelas tanpa perlu untuk diperdebatkan.
Firman Allah:“Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: “Jadilah!“, lalu jadilah dia.”{QS. 3:47}
“Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah!“, maka jadilah ia.”{QS. 40:68}
Dalam hal ini patut pula disimak pernyataan ustadz Ibnu Dawam dalam artikelnya [Dasar-dasar Penetapan awal dan akhir Ramadhan menurut Al Qur’an dan Hadits. (Jawaban terhadap Imkan ru’yah Prof. Dr. T. Djamaluddin)] bahwamemvonis hilal dua derajat dibawah ufuk tidak bisa dilihat, adalah suatu penghinaan besar terhadap Ilmu Pengetahuan, termasuk ilmu astronomi itu sendiri, yang sekaligus juga menghina pada Kemampuan Allah untuk memberikan ilmuNya secara khusus berupa hidayah kepada siapa yang Allah menginginkannya dengan menghapus segala hambatan, baik hambatan keterbatasan pandangan mata, hambatan bias sinar matahari, maupun hambatan atmosfir lainnya.
“Dalam Fatâwa Nûr ‘Alad-Darb (juz 16 hal. 75) yang dikeluarkan oleh al-Lajnah ad-Dâ-imah (semacam MUI di Kerajaan Saudi Arabia) melalui website resminya www.alifta.net, terdapat keterangan sebagai berikut:
Jika seseorang menghadap mahkamah (qâdhi) atau pihak yang berwenang dalam penetapan puasa dan hari raya, kemudian bersaksi bahwa dia telah melihat hilal, namun pengakuannya tersebut ditolak dan tidak memakai hasil ru’yah-nya tersebut, maka di sini terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa dia wajib berpuasa (sekalipun sendiri-pent), karena dengan ru’yah-nya tersebut, bararti bulan (Ramadhân) telah masuk bagi dirinya selaku pribadi.
Namun ulama yang lain berpendapat bahwa ia tidak boleh berpuasa jika hasil ru’yah-nya ditolak, tetap tidak boleh puasa, berdasarkan sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam:‘Puasa itu adalah saat kalian semua berpuasa, Idul Fithri adalah hari di mana kalian semua melaksanakan ‘Idul Fithri, dan ‘Idhul Adh-ha adalah hari dimana kalian semua melaksanakan ‘Idhul Adh-ha’.Sehingga dia tidak boleh berpuasa pada hari di mana jama’ah kaum muslimin (bersama pemerintahnya) tidak berpuasa.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Abul ‘Abbâs Ibnu Taimiyyah rahimahullâh dan sekumpulan ulama yang lain. Pendapat inilah yang lebih jelas dalam pendalilan, berdasarkan sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam; ‘hari berpuasa adalah hari di mana kalian semua berpuasa’. Maka kesaksian ru’yah seseorang otomatis menjadi batal bagi dirinya dan bagi orang lain, sehingga tidak boleh ia berpuasa. Inilah pendapat yang paling mendekati kebenaran.
Namun jika ia berpuasa dengan berpegang pada pendapat mayoritas ulama (bahwa ia wajib berpuasa secara pribadi-pent) maka yang demikian pun tidak mengapa InsyaAllah. Hanya saja tidak berpuasa (dalam kasus seperti ini-pent), adalah lebih utama dan lebih afdol.
Pendapat penulis :
Marilah kita lihat secara kenyataan keadaan untuk
dengan didasari oleh ilmu, tanpa ada sikap taqlid, apalagi memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu diri dan kelompoknya
1.Sholat jumat di Saudi Arabia (Kiblat) sama harinya hari jumat buat sholat jumat di Indonesia, Indonesia lebih dulu + 4-6 jam (shaf lebih awal dari kiblat), waktu sholat berdasarkan pergerakan matahari bukan bulan.
2.Waktu sholat harian telah dikulkulasi bertahun-tahun dengan ilmu astronomi modern sehingga tidak perlu melihat bayangan matahari lagi, cukup dengan menyamakan jam (lihatlah jadwal sholat tahunan). Pada hal tersebut ilmu astronomi dipercaya semua golongan untuk digunakan tapi untuk hitungan bulan Hijriah tidak berlaku oleh sebagian orang/golongan.
3.Setelah hari wukuf di Arafah, esoknya adalah Idul adha (waktu berdasarkan bulan) lokasi Arab Saudi, seyogyanya Indonesia lebih dahulu pula pelaksanaannya tapi bila perhitungan lihat bulan tidak tepat maka tidak sama. Allah ta’ala telah berfirman :“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”(QS. Al-Baqarah : 189). Dan mengenai ibadah haji, sebagaimana disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :“Haji itu ‘Arafah”.Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus-Sunan dengan sanad shahih. Maka wajib bagi semua negeri kaum muslimin yang mengetahuinya untuk membatasinya dengan ru’yah negeri yang dituju orang-orang untuk ibadah haji, yaitu negeri Al-Haramain yang mulia. Dan karenanya, tidak boleh bagi kalian untuk mentaati pemerintah kalian yang menjadikan ‘Ied jatuh pada hari selainnya. Dan barangsiapa yang menyembelih pada hari selainnya, maka sembelihannya itu tidak terjadi pada posisi/tempat yang syar’iy. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang orang yang menyembelih sebelum shalat ‘Ied :‘Kambingmu itu adalah kambing yang disembelih untuk dimakan dagingnya saja (bukan kambing sembelihan kurban)’.Beliau ‘alaihish-shalaatu was-salaam bersabda :‘Tidak ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah’.Permasalahan ini bukan seperti perselisihan dalam ru’yah hilal Ramadlaan atau Syawaal, karena puasa dan berbuka dimungkinkan untuk dilakukan di negeri manapun. Adapun hari ‘Arafah dan ‘Iedul-Adlhaa, sudah seharusnya orang-orang untuk bersatu, meskipun hanya satu bagian di waktu siang, berdasarkan ayat-ayat dan hadits. Wallaahu a’lam.
4.Bila Kiblat sebagai zona waktu nol, maka jarak terjauh siang hari dan malam hari plus minus 12 jam, jarak terjauh tidak melebihi 24 jam (sehari semalam) melainkan setengah hari saja. Pengikutan arah sesuai matahari dan bulan terbit (pergantian siang dan malam) dengan pengelihatan zona waktu berdasarkan bujur dan lintang
5.Kiblat Malaikat adalah Kabah juga sama dengan Kiblat sholat umat Islam
6.Persatuan umat lebih penting dari kebenaran atas nama kelompok
7.Hambatan atmosfir di Saudi Arabia kurang dari hambatan alam di Indonesia, sehingga Hilal lebih mudah dilihat mata
8.Diharuskan melihat hilal dengan mata pada hadis secara tekstual adalah kebenaran, secara saint dan kreteria benar juga bila hilal telah melebihi nol derajat masuk bulan baru.
9.Adanya prasangka bahwa perbedaan ini sering bermuatan kepentingan politik, kesenangan sesaat, pembenaran dan pengkultusan kelompok, dan sebagainya
10.Di Mekkah (kiblat) bila waktu telah ditetapkan, maka semua manusia dari belahan dunia, dari negara dan hirarki apa pun yang umroh, dari mahzab apa pun dan dari golongan apa pun yang berada disana, semua sama melaksanakan pada waktunya, dan tidak ada membawa perselisihan/pertentangan waktu baik di negaranya atau di golongannya.
11.Teknologi informasi, telekomunikasi dan Internet memungkinkan manusia untuk saling mengetahui dan berkomunikasi dalam waktu menitan saja walau terhalang jarak yang jauh
12.Adanya anggapan orang-orang bahwa bila salah maka itu kesalahan pemerintah atau pimpinan golongannya, bukan kesalahan Kami, karena hanya mengikuti saja. Anggapan yang tentu saja salah pada tempatnya“(Yaitu) bahwasanya, seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”(QS An-Najm [53]: 38). Keterangan serupa juga terdapat dalam surah An-An’am [6]: 164, Al-Isra’ [17]: 15, Fathir [35]: 18, Az-Zumar [39]: 7., (masing-masing bertanggung jawab kepada apa pilihan yang dipilihnya sendiri)
13.Adanya masyarakat yang melakukan pilihan karena mengikuti pilihan paling ramai yang diikutinya, padahal kadang kala secara kedaerahan benar yang paling ramai pemilihnya namun dilihat menyeluruh di dunia pilihannya kadang hanya 1/3 dan 2/3 telah melakukannya atau kebalikkannya
14.Di wilayah Indonesia termaksud shaf bagian depan hitungan sholat seluruh dunia, yaitu + 4-6 jam sebelum shaf tengah (kiblat) bersujud, namun suatu saat akan terbalik keadaan ini, bilakah “matahari terbit dari barat” itu akan permanen maka wilayah Indonesia menjadi shaf bagian akhir setelah shaf tengah (kiblat) bersujud, yaitu - 4-6 jam, maka jadwal tahunan sholat akan berubah dan harus direvisi juga menit dan detiknya mengikuti putaran matahari terbalik ini.
Berhubungan dengan adanya 2 kejadian diawal Islam, penting adanya pemimpin atau persatuan umat, sebagaimana kita tahu bahwa ramadhan dan idul fitri bukan hanya berkenaan puasa saja melainkan juga berkenaan dengan sholat Id itu sendiri, yaitu bila kita sesuaikan waktu sholat adalah setelah beberapa saat terbit matahari pada sebuah hari sudah selayaknya seperti jumatan yang sama harinya dengan kiblat, dan mestinya berkenaan sholat juga, berarti sholat Id haruslah sama harinya. Mengapa kiblat?
Bila seumpama kiblat dahuluan harinya maka di Indonesia pelaku pilihan kedua akan sholat Id terlambat selama 20 – 24 jam karena secara hitungan waktu nyatanya Indonesia dahuluan masuk siang dan malamnya +4-6 jam, hal yang lucu bila diikut sertakan hal ghaib yaitu Malaikat yang punya kiblat yang sama di Kabbah maka apakah Malaikat yang berada di shaf yang jauh (baca: Indonesia ada di awal shaf dunia, dengar pula tentang kebenaran adzan yang tidak terputus di bumi, selesai adzan di daerah yang satu terawal, daerah sesudahnya yang lain masuk pula berikutnya, silih berganti dan tertib) sholat mengikuti kiblat juga pada waktu yang sama dengan tertib urutan siang dan malam hingga sampai di shaf kiblat itu dan seterusnya hingga berakhir seluruhnya pada putaran penuh bumi yang akhir/ujung untuk hari tersebut dan atau adakah Malaikat yang mengikuti waktu yang lainnya seperti di Indonesia itu, dimana shaf Malaikat di Indonesia ini baru sujud dalam sholat Id setelah hampir sehari setelah shaf Malaikat yang notabene harusnya ditengah (baca : Mekkah adalah pusat dunia) Shaf di Mekkah telah dahuluan sujud dalam sholat Id hampir sehari sebelumnya padahal nyatanya harusnya fajar dan sore indonesia adalah datang dahuluan atau Indonesia berada di garis depan waktu sebelum kiblat. Apakah para malaikat diseluruh dunia tidak sujud bersamaan waktunya secara teratur jam per jam baik di shaf awal (< +12 jam) mengikuti kiblatnya di shaf tengah (0 jam) hingga shaf terakhir (> -12 jam) ketika sholat Id.
Hal yang terpenting adalah bila diarahkan sama berpatokan kiblat, maka persatuan umat seluruh dunia terjaga dan InsyaAllah, tidak ada saling fitnah-fitnahan yang berkata golongan ini salah, golongan itu benar, yang ini bego yang itu jelek, dsb. Seperti yang Kita tahu di Mekkah terkumpul beberapa aliran, kelompok dan mahzab berbeda dan terkumpul pula manusia-manusia dari berbeda-beda daerah dan negara dengan terkumpulnya manusia yang sedang umroh pada Ramadhan, yang pada waktunya sama melakukan puasa dan sholat id disana, tidak bertentangan atau membawa permasalahan beda waktu dari golongannya atau negaranya.
Setau penulis Kita memang tidak dapat berpatokan pada satu kreteria saja, dan lagi ilmu agama harusnya sejalan dengan saint pula, bila kita berpatokan pada melihat bulan secara mata, bisa jadi pada waktu lain tidak akan bisa, dahulu masing-masing terkotak pada kedaerahan hingga perlulah hal tersebut sekarang setelah astronomi maju dan adanya jaman satelit, dimana informasi dan komunikasi canggih dan lebih mudah maka pengotakan daerah telah tidak ada sama sekali, mungkin bila suatu saat hilang lagi keadaan tersebut. jadi kreteria itu dipakai silih berganti sesuai dengan keadaan.
Percayalah bila tidak ada pengotakan daerah di awal Islam sebelum adanya kemajuan teknologi maka bisa jadi kreteria akan diberi sejelas-jelasnya. Hal ini tersirat dari salah satu dari 2 makna hadis ini (makna teks dan makna simbol, makna simbolnya akan dibahas dalam periode diktator)
kita coba untuk mengutip satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitab suannnya, dari An Nawwas bin Sam’an Al Kilabi ia berkata,“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tentang Dajjal, beliau bersabda: “Jika saat Dajjal keluar aku masih bersama kalian maka akulah yang akan melindungi kalian darinya. Namun jika ia keluar dan aku tidak lagi bersama kalian, maka setiap orang harus melindungi dirinya sendiri. Allah adalah pelindung bagiku dan setiap muslim. Barangsiapa dari kalian berjumpa dengannya, hendaklah ia bacakan awal surat Al Kahfi, sebab itu akan melindungi kalian dari fitnahnya.” Kami lalu bertanya, “Berapa lama ia akan tinggal di bumi?” beliau menjawab: “Empat puluh hari. Satu hari seakan setahun, dan sehari seakan sebulan, dan sehari seakan sepekan dan hari-harinya dia sama sebagaimana hari-hari kalian.” Kami bertanya lagi,“Wahai Rasulullah, pada hari yang seakan satu tahun, apakah shalat kami akan mencukupi untuk waktu sehari semalam?” beliau menjawab: “Tidak, namun sesuaikanlah (setiap waktu shalat).Kemudian Isa putera Maryam akan turun di sisi menara putih, sebelah timur kota Damaskus. Lalu ia menemukan Dajjal di pintu Lud (sebuah tempat di dekat Baitul Maqdis), lantas ia pun membunuhnya.”HR. Abu Daud; 4321, Derajat hadits ini shahih, karena perawinya adalah perawi shahih.
Berdasarkan hadits diatas, maka bagi penduduk yang tinggal di daerah gelap atau terang atau wisatawan yang sedang mengadakan perjalanan ke wilayah tersebut, harus melaksanakan shalat lima waktu dengan patokan dua puluh empat jam. Yaitu melaksanakan shalat-shalat tersebut pada masing-masing waktunya, sesuai dengan jarak antara waktu shalat yang satu dengan waktu shalat lainnya pada hari-hari biasa. Pertanyaan ini tertuang karena pertanyaan tentang cara orang yang sholat di daerah gelap berbulan-bulan atau terang berbulan-bulan seperti daerah dekat kutub utara atau kutub selatan, lantas bagaimana perhitungan bulan dan waktu matahari bila mereka mengkotak-kotakan berdasarkan daerah per daerah tersebut, bagaimana cara mereka melihat bulan untuk menentukan awal ramadhan atau menentukan waktu sholat?
Apa tentulah mengikuti garis khatulistiwa sesuai dengan bujur dan lintang mereka pula. Hadis ini juga mengisaratkan secara tersurat bahwa kelak akan ada penemuan waktu atau jam dan Nabi mengetahui halnya tersebut, maka ikutlah waktu yang telah sesuai hitungannya dalam jam dan astronomi tersebut, bisa juga bila diselaraskan adalah nabi juga mungkin telah mengetahui akan ditemukannya perhitungan astronomi modern tentang perhitungan jadwal sholat tahunan, peredaran bulan dan matahari pula. Bukankah nabi banyak tahu pengabaran tabir-tabir tentang keadaan umatnya di masa depan. Makna teks ini juga seakan-akan membenarkan tersirat bahwa akan ada hari yang selama setahun lamanya, bila tidak buat apa para sahabat yang pemahaman agamanya sangat tinggi perlu bertanya“Wahai Rasulullah, pada hari yang seakan satu tahun, apakah shalat kami akan mencukupi untuk waktu sehari semalam?”dan bilakah demikian maka pertanyaannya bagaimana puasa waktu itu bila kriteria hadis tentang melihat hilal secara langsung sendiri tidak terpenuhi yaitu perhitungan terbit bulan akan membingungkan karena setahun serasa sehari, dengan kata lain 6 bulan siang hari dan 6 bulan malam hari. Bagaimana anda dapat melihat bulan secara mata dan menentukan awal ramadhan dan sholat Id bila keadaan waktu tersebut benar-benar terjadi? Lihatlah pula pertanyaan dari orang lain dibawah ini.
“Mereka lalu bertanya kepada Rasulullah, "Apakah pada hari yang lamanya seperti satu tahun itu cukup bagi kita mengerjakan shalat –lima waktu– sekali saja?" Rasulullah kemudian menjawab, "Tidak, akan tetapi tentukanlah waktu seperti biasanya (dan dirikanlah shalat sesuai ketentuan waktu tersebut)".
"Kemacetan" rotasi bumi pada masa dajjal tersebut tentu menimbulkan problem dalam prosesi ibadah, karena kita ketahui bahwa shalat lima waktu memiliki ketergantungan kepada perputaran bumi dan peredarannya terhadap matahari, dimana shalat Subuh wajib dilaksanakan ketika fajar, shalat Dzuhur yang wajib didirikan ketika matahari tergelincir dari puncak vertikal, shalat Maghrib yang wajib dikerjakan saat matahari tenggelam. Dan juga shalat Jum’at yang wajib dilaksanakan sekali dalam sepekan.
Belum lagi dengan peribadatan lainnya seperti kapan bulan Dzulhijjah datang sehingga orang dapat melaksanakan ibadah Haji, kapan orang wajib mengeluarkan Zakat yang telah mencapai nishab dan haul, kapan Idul Fitri, Idul Adha dan beragam ibadah lainnya yang susah untuk diterapkan pada masa kedatangan dajjal ini.
Lebih pelik lagi adalah; bagaimana cara kita berpuasa? Misalkan saja dajjal datang pada bulan Ramadhan, dan kebetulan hari itu merupakan hari yang memiliki durasi selama satu tahun, itu artinya hari tersebut akan mengalami waktu siang selama enam bulan dan akan diselimuti malam selama enam bulan juga.
Tentu ini menimbulkan hambatan serius dalam berpuasa, karena puasa adalah menahan lapar-dahaga dan segala sesuatu yang dapat membatalkannya dari Subuh hingga Maghrib. Lalu apakah pada masa itu umat Islam diwajibkan berpuasa dan menahan makan-minum dari pagi hingga petang yang tenggang waktunya adalah enam bulan? Jangankan menahan makan-minum selama enam bulan, untuk menahan selama 14 jam saja masih banyak yang tidak kuat. Apa lah puasa selama setengah tahun, untuk puasa sehari saja masih banyak yang bolong-bolong.
Untungnya para sahabat dahulu telah mempertanyakan hal tersebut, sehingga Rasulullah dapat memberikan solusinya dan jawaban Rasulullah inilah yang dijadikan landasan syariat tentang bagaimana tata-cara umat Islam melaksanakan Shalat, Zakat, Puasa dan Haji pada saat "kemacetan" tata-surya tersebut terjadi di masa dajjal nanti.
Banyak ulama yang telah menjelaskan hadits di atas dan menerangkan tata-cara ibadah jika perjalanan waktu "tersendat" sedemikian rupa. Salah satunya adalah apa yang diterangkan Ibnu Taymiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya (kompilasi fatwa Ibnu Taymiyah) bahwa, "(Ibadah pada masa itu) tidak lagi menggunakan patokan waktu yang berdasar akan terbitnya matahari maupun tenggelamnya…" Karena pada masa itu peredaran matahari tidaklah normal sebagaimana hari-hari biasanya.
Fatwa Ibnu Taymiyah ini kemudian diperjelas oleh syaikh Abdullah ibn Baz dalam fatwanya yang menegaskan bahwa; "Satu hari yang memiliki masa satu tahun tersebut tidak dihitung sebagai satu hari, dengan demikian tidak cukup mengerjakan shalat lima waktu sekali saja dalam tenggang waktu tersebut. Akan tetapi wajib mengerjakan shalat lima waktu setiap 24 jam sekali dengan cara membagi hari tersebut sesuai patokan jam yang digunakan pada negara masing-masing yang berlaku pada hari-hari biasa…"
Kemudian syaikh Ibn Baz melanjutkan "…demikan halnya wajib –bagi para muslimin– untuk mengerjakan puasa Ramadhan dan menentukan kapan permulaan Ramadhan dan kapan berakhirnya, serta kapan permulaan fajar dan kapan berakhirnya…" Maka dapat dikiaskan juga atas hadits ini tentang ibadah lainnya seperti Zakat dan Haji.
Sehingga wajib mengeluarkan zakat maal ketika sudah mencapai nishab (standar minimum) dan telah berlalu selama haul (setahun). Sama halnya dengan ibadah Haji yang harus ditentukan kapan bulan Dzulhijah yang dengan itu dapat diketahui pula kapan hari Tarwiyah, hari Arafah, Idul Adha dan hari-hari Tasyriq tiba.
Dari sini dapat kita bayangkan, betapa sulitnya tantangan yang akan dihadapi umat Islam pada era dajjal kala itu. Oleh karenanya, saat itu harus ada integrasi antara pemimpin umat dan para ulama untuk bisa membagi waktu menjadi "pecahan" 24 jam. Mereka juga dituntut untuk mempublikasikan hal tersebut kepada segenap umat Islam di seluruh pelosok dunia.
Dengan kata lain, mereka lazim menciptakan sebuah sistem "Kalender Darurat" bersifat temporal yang khusus digunakan pada masa "kemacetan" tata-surya ini terjadi. Tanpa itu, umat Islam akan kebingungan mengenali kapan datangnya Dzuhur maupun Maghrib, karena Dzuhur yang biasanya ditandai dengan waktu siang dan Maghrib yang ditandai oleh terbenamnya matahari, kala itu kedua-duanya akan dilaksanakan pada waktu siang hari atau malam hari tanpa ada pembeda.
Dengan demikian, hadits di atas merupakan rujukan utama untuk umat Islam dalam melaksanakan ritual ibadah di akhir zaman kelak. Pun demikian, untuk mengamalkan hadits shahih ini tidak pula harus menunggu hingga datangnya dajjal nanti, karena hadits tersebut dapat diterapkan juga pada zaman sekarang oleh para penduduk bumi bagian utara maupun selatan yang terkadang matahari tidak muncul sampai beberapa bulan lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar