Muqadimah:

Assalamu'alaikum wr.wb."Amal Ma'ruf nahi Mungkar" adalah Tujuan awal Saya membuat Blog ini.. Tanpa bermaksut Menggurui, ataupun merasa lebih suci.. Saya hanya Berharap banyak Pembaca yg mengambil manfaat dari Blog ini, sehingga menjadi ilmu dan Amal bagi Pembaca dan Jariah Ilmu buat saya. Tapi maaf karena saya bukan Ustad ataupun Kyai, dan karena dangkal nya ilmu Saya, postingan di Blog ini banyak saya ambil Dari Sumber yang lain, yang tentu Ilmu nya Lebih kopenten daripada saya. sekali lagi Semoga bermanfaat. Wassalam... Arief Apriyanto

JADWAL WAKTU SHALAT
PADANG :


Jumat, 29 Januari 2016

Terbaginya Sudut Pandang Keagamaan. (bag:4)

Dari (Bag:3)

Biru : +12 jam yang memulai awal hari, sebanding awal jumat dari hitungan sana, kemudian 8 jam setelahnya maka hari jumat masuk waktunya di Nusantara – selisih 4 jam berikutnya lagi masuk hari jumat untuk wilayah Mekkah (sesuai dengan kenyataan waktu dunia yang dipakai sekarang, dan sesuai dengan jumatan yang dahuluan di Nusantara baru di Mekkah). Setelahnya kemudian ditambah 20 jam (12 jam (akhir hari) + 8 jam) lagi dari Mekkah maka di Nusantara hari mulai berganti hari sabtu.
Jingga : hari sabtu di Nusantara ada sebagian yang berhari raya pada hari tersebut, kemudian dalam 4 jam berikutnya masuk hari sabtu di Mekkah, dimana juga berhari raya pada hari tersebut. (putaran waktu sesuai dengan satu putaran hari, 24 jam), setelahnya 8 jam kemudian akhir hari berakhir di -12jam
Kriteria Danjon (1932,1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat.
Ada berpendapat bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal dari ufuk tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini. Ada pendapat secara pandangan normal, minimal bulan telah 6 derajat diatas ufuk baru dapat dilihat. Maka ditetapkanlah atau disepakatilah beberapa derajat pasti yang dapat melihat hilal tanpa alat bantu diantara 2-6 derajat itu. Kemudian ilmu astronomi sebagai klaim kepastian dan keakuratan ilmunya sebagai persepsi kesatuan waktu keseluruhan dunia tentunya akan diujicoba dengan cara astronomi harus menentukan negara, wilayah dan kota-kota yang dapat melihat hilal secara langsung tanpa alat bantu ditiap awal bulan baru sesuai derajat yang disepakati mudah melihat hilal. Terserah mau diuji berapa puluhan atau ratus kali dahulu di tiap-tiap daerah dan kota nantinya yang telah astronomi pastikan itu (pada setiap awal bulan hijriah) dan bila ketepatan astronomi mendekati 100%, maka bukankah perhitungan astronomi tersebut adalah telah tepat dapat mewakili rukyah. Bila pun haruslah ada yang melihat langsung sesuai dengan keharusan hadits“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal) menjadi 30 hari".Hal yang akan dapat saja mengotakkan wilayah (saat kekinian) karena masing-masing golongan bisa melakukan sendiri-sendiri dan bila mau diintegerasi satu waktu serempak secara seluruh dunia maka setelah ditentukan oleh astronomi dimana terjadi hilal yang dapat dilihat di negara/wilayah dan kota-kota mana saja hal tersebut dapat dilihatnya hilal, timnya bisa langsung mengabarkan secara cepat keseluruhan belahan dunia. Yang repot adalah waktu menunggu buat wilayah yang agak jauh atau berselisih jam/waktu besar dari kota-kota tersebut. Bisa-bisa ada yang menunggu sampai tengah malam. Tapi bila “benar” karena akurasinya astronomi benar-benar dapat dipertanggungjawabkan 100% tepat, bisa saja bagi yang berselisih jauh jamnya dari lokasi lihat bulan itu, melakukan kegiatan ibadah sesuai waktunya dan memastikan secara langsung kemudian nantinya kabar dari lokasi lihat hilal tersebut berikutnya dari media informasi setelah ada kabar serempak adanya hilal yang nyata, toh sebagaimana astronomi mengklaim dapat menghitung jauh hari sebelumnya.
Namun karena adanya kabar lain, maka harus dipastikan pula terlebih dahulu kebenaran hal ini.“Dalam penanggalan Masehi, waktu Indonesia selalu lebih cepat dibandingkan Arab Saudi karena posisi Indonesia yang berada di timur Arab Saudi. Sedangkan dalam penanggalan hijriah, waktu di Indonesia belum tentu lebih dulu dibanding Arab Saudi. Kondisi ini disebabkan karena garis awal bulan selalu berubah setiap bulannya dan bentuknya miring, sehingga ketinggian hilal bisa saja berbeda antar satu tempat dengan tempat lainnya walaupun tempat tersebut memiliki jarak yang boleh dikata tidak terlampau jauh. Hal ini pernah terjadi pada jaman Mu’awiyah sekitar abad ke-7, dimana pada saat itu Syam (Suriah) lebih dulu satu hari memasuki Ramadhan dibandingkan Madinah”.Dan berbagai hal lainnya yang menyelisihi syarat-syarat dapat dipakainya ilmu astronomi untuk satu hitungan mendunia tersebut yang mungkin saja ada pula, karena penulis hanya sekedar memperkirakan saja tanpa ilmu yang dalam dalam hal ini. Namun bila merujuk matahari dan bulan atau siang malam seperti melilitkan surban, sebenarnya apakah arah terbit matahari dan bulan selalu sama arah awal ke akhirnya (dalam rujukan geosentris).
Disini penulis tidak mengupas lebih jauh hingga hal mengenai ketaatan pada kepemimpinan, hal ini berdasarkan yang mana memenuhi kebenaran pada ayat-ayat alam saja. Jadi berdasarkan nalar, logika, berdasarkan realitas dari kenyataan saint pada hitungan waktu, baik itu geosentris maupun heliosentris yang diterima dan dipakai hari ini dan juga berdasarkan kenyataan penciptaan alam semesta (bumi) bahwa siang malam terjadi selama 24 jam, pada dasarnya salah satu alasan secara mekanisme alam tertolak, kecuali ilmu pengetahuan tidak dapat menghitungnya lagi.
“sebagai penentu masuknya awal bulan, mirip dengan syarat ketinggian matahari untuk munculnya fajar dalam penentuan masuknya waktu shubuh. Jadi, kriteria imkan rukyat didukung oleh logika fikih yang jelas” dikutip dari tweet di chirpstory.com
“Mengenai perbedaan antara penetapan awal bulan hijriyah untuk hal ibadah dengan penetapan waktu shalat diterangkan oleh guru kami, Syaikh Sa’ad Al-Khatslan hafizhahullah yang saat ini menjabat sebagai anggota Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) sebagai berikut.
Allah menjadikan sebab untuk penetapan waktu shalat. Ketika sebab ini ditemukan dengan cara apa pun, maka hukum shalat itu berlaku. Misalnya saja, shalat Zhuhur. Yang menandakan masuknya waktu Zhuhur adalah dengan zawalnya matahari, yaitu tergelincirnya matahari ke arah barat. Jika telah diketahui zawalnya matahari dengan cara apa pun, maka masuklah waktu Zhuhur. Begitu pula ketika diketahui panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya, maka hukum akhir waktu shalat Zhuhur berlaku. Karenanya, waktu shalat bisa diketahui melalui hisab falaki.
Adapun untuk masalah hilal, syari’at tidak menjadikan terbitnya hilal (bulan tsabit) sebagai patokan untuk berpuasa. Penglihatan hilal tidak ada kaitannya dengan terbitnya hilal (bulan tsabit). Jika penglihatan hilal itu tidak tercapai, maka tidak ada sebab syar’i untuk berpuasa.
Ringkasnya, untuk waktu shalat, syari’at menjadikan berbagai sebab sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Jika sebab tersebut ditemukan dengan cara apa pun, maka berlakulah hukum masuknya waktu shalat. Mungkin saja hal itu diketahui dengan cara hisab lewat ilmu falak. Adapun untuk masuk awal bulan, dijadikan sebab adanya hukum adalah dengan penglihatan, sedangkan hisab tidak dijadikan patokan dalam masalah ini. Yang dijadikan sebab hanyalah rukyatul hilal untuk masalah ini.
Untuk memasuki awal bulan, kita dapati dalil menyebutkan, “Berpuasalah karena melihat hilal.” Dan tidak dikatakan, berpuasalah karena keluarnya hilal dari sarangnya. Namun hanya dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Berpuasalah karena melihat hilal.”Sedangkan untuk waktu shalat, misal waktu Zhuhur disebutkan,“Kerjakanlah shalat karena awalnya matahari (tergelincirnya matahari ke arah barat, pen.).”Ini jelas berbeda, masuknya awal bulan disuruh melihat, sedangkan waktu shalat cuma mengetahui keadaan. Sehingga tak tepat jika penentuan awal bulan diqiyaskan (disamakan) dengan jadwal shalat. (Sumber fatwa: Ahlalhdeeth.Com)
Untuk penetapan waktu shalat, cukup dengan mengetahui keadaan, yang di mana bisa diketahui lewat ilmu hisab. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Waktu Zhuhur dimulai saat matahari tergelincir ke barat (waktu zawal) hingga bayangan seseorang sama dengan tingginya dan selama belum masuk waktu ‘Ashar. Waktu Ashar masih terus ada selama matahari belum menguning. Waktu shalat Maghrib adalah selama cahaya merah (saat matahari tenggelam) belum hilang. Waktu shalat ‘Isya’ ialah hingga pertengahan malam. Waktu shalat Shubuh adalah mulai terbit fajar (shodiq) selama matahari belum terbit. Jika matahari terbit, maka tahanlah diri dari shalat karena ketika itu matahari terbit antara dua tanduk setan.”(HR. Muslim no. 612). Di dalam hadits tidak dipersyaratkan harus melihat keadaan matahari. Berarti dengan ilmu hisab pun bisa diperkirakan.
Untuk masalah melihat hilal disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan menjadi 30 hari).”(HR. Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1080). Lihatlah di sini dipersyaratkan melihat, tidak dengan hisab. http://rumaysho.com”
“Apakah perputaran bulan pada bumi bukan merupakan ayat-ayat alam, sunnatullah yang tidak ada campur tangan manusia didalamnya, bukankah ia adalah dalil-dalil pula? Bukankan bila bulan telah melebihi 0 derajat diatas ufuk menandakan masuk hari/bulan baru, bukankah ini merupakan dalil-dalil secara realitas yang benar-benar real pula?”
Ilmu astronomi dewasa ini telah dapat menerka secara akurat, dimana dan kapan waktu terjadinya gerhana dan dimana imbas-imbas wilayah yang terdampak dan terlihat.
Tentu pertanyaan yang timbul, apakah dalil pada nash dan dalil pada alam itu akan kontradiksi atau bertentangan, tidak bisakah keduanya saling menguatkan atau berkesinambungan atau pula sebenarnya malah tidak berkontradiksi.
Mungkin akan ada yang menyamakan, bila begitu usaha manusia atau pilihan antara tanda kutip “kekanan” atau “kekiri” dari seorang individu adalah sunnatullah pula, karena masing-masing hasil, keadaan, akibat, dsb.
Diciptakan Allah SWT pula, seperti game bola, model tendangan, arah, dsb telah discriptkan pencipta gamenya, dan akan berputar/random beberapa model gayanya itu-itu saja, dan tinggi rendah kekanan atau kesamping arahnya sesuai beberapa model limit yang ditetapkan, juga sesuai dengan apa dan beberapa macam bentuk-bentuk yang telah dituangkan dalam kelengkapan permainan tersebut oleh penciptanya. Padahal hal ini berkaitan dengan interaksi manusia, atau dimana hal ini berkaitan dengan perjanjian, sebab akibat, hak, kewajiban, resiko, tanggung jawab, imbas, dsb manusia itu sendiri dari hasil olahnya tersebut, dimana hal ini masuk pada rambu-rambu batasan-batasan syariat, pada pemberian dan penahanan nikmatNya, pada ketaatan pada perintah dan larangan yang juga digariskan oleh Sang Pencipta.
Karena dalil alam tentang keadaan bulan ini berinteraksi dengan urusan manusia, dimana tentu harus sesuai garis rambu-rambu/batasan-batasan syariatNya, seharusnya dalil nash dan dalil alam ini dapat berjalan bersama agar tidak terjadi paradoks.
Apakah melihat hilal adalah ijma? Bagaimana hukum mengenai hal yang telah ijma?
Bila saja Anda pernah iseng membuat kalender hijriah sendiri, dimana anda membuat 3 kalender hijriah berbeda perhitungan, dimana yang pertama, anda membuat berdasarkan perhitungan yang dilakukan NU, yang kedua, berdasarkan putusan yang dikeluarkan muhammadiyah, sedangkan yang ketiga, anda buat berdasarkan putusan/penetapan bulan-bulan islam yang terjadi di Arab Saudi. Dalam hal ini mungkin kalender hijriah dari metode muhammadiyah anda sudah bisa langsung membuat 1 tahun kalender, sedangkan dua yang lain, anda akan menunggu tiap bulannya untuk memastikannya. Bila anda rutin membuatnya selama 5 tahun, anda akan menemukan dari ketiga-tiganya masing-masing perbedaan waktu atau perbedaan tanggal dan hari. Ringkasnya mungkin seperti ini, misalnya terjadi pada hari raya, walaupun bulan-bulan lain juga akan ada kadang-kadang masing-masing perbedaan, masing-masing mengklaim akan tanggal yang sama (dalam hijriah) namun hari berbeda (nama hari seperti biasa), dalam hal ini tentang harinya ada yang mendahului sehari dan ada yang membelakangi sehari. Atau akan ada pula perbedaan akan jumlah hari pada bulan-bulannya (29/30) pada masing-masing kalender tadi, bahkan ada yang dua diantara tiga itu jumlah bulan sama kemudian berbalik yang lain yang sama, kadang ketiganya tidak sama jalan model bulan-bulannya masing-masing setahunnya. Atau seseorang yang selalu ikut lebaran/awal puasa, dsb sesuai dengan waktu tetapan di Arab Saudi, mungkin tahu ini, maka kadang-kadang ia akan berlebaran yang sama waktu dan harinya dengan Muhammadiyah, dalam hal ini NU akan terlambat sehari (tanggal satu dimulai disitu untuk kalender NU), atau harinya berbeda. Dan pada lain kesempatan maka kadang-kadang, ia pula akan berlebaran yang sama waktu dan harinya dengan NU, dimana Muhammadiyah akan dahuluan sehari (awal bulan disitu untuk kalender versi Muhammadiyah), dan pastinya juga harinya berbeda. Jadi bila mau dibuatkan kalender hijriah secara pemakaian global di dunia, seperti hampir mustahil dapat dilakukan. Seandainya saja, kita tidak mengenal kalender masehi, dimana kita memakai kalender hijriah, kerancuan ini tetap ada, bila patokan atau kreteria masih tidak ketemu sepakat.
Namun sebenarnya kalender hijriah dapat dibuat secara global dan dapat sama dipakai didunia, dimana hal ini dikaitkan secara dalil alam/saint dan secara dalil nash, dan kesampaian informasi antar wilayah dimana saja yang hanya menghitung menit saja.
“Adapun untuk masalah hilal, syari’at tidak menjadikan terbitnya hilal (bulan tsabit) sebagai patokan untuk berpuasa. Penglihatan hilal tidak ada kaitannya dengan terbitnya hilal (bulan tsabit). Jika penglihatan hilal itu tidak tercapai, maka tidak ada sebab syar’i untuk berpuasa.
Ringkasnya, untuk waktu shalat, syari’at menjadikan berbagai sebab sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Jika sebab tersebut ditemukan dengan cara apa pun, maka berlakulah hukum masuknya waktu shalat. Mungkin saja hal itu diketahui dengan cara hisab lewat ilmu falak. Adapun untuk masuk awal bulan,dijadikan sebab adanya hukum adalah dengan penglihatan, sedangkan hisab tidak dijadikan patokan dalam masalah ini. Yang dijadikan sebab hanyalah rukyatul hilal untuk masalah ini.”
Pada hal ini, hisab merujuk kepada bisa tidaknya hilal bisa dilihat secara mata atau alat melihat, atau kapan tepatnya derajat diatas ufuk yang tepat agar hilal bisa dapat dilihat secara mata, yang 90% faktor penghalangnya penglihatan tak mengganggu. Bila derajat tersebut tidak mencukupi derajat yang tepat tadi, maka perhitungan saintnya digenapkan bulannya, seperti “Adapun untuk masalah hilal, syari’at tidak menjadikan terbitnya hilal (bulan tsabit) sebagai patokan untuk berpuasa. Penglihatan hilal tidak ada kaitannya dengan terbitnya hilal (bulan tsabit). Jika penglihatan hilal itu tidak tercapai, maka tidak ada sebab syar’i untuk berpuasa”, maka kalender versi ini sudah dapat menghitung jauh-jauh hari sebelumnya, umpama dihitung setahun. Namun masalah lainnya tetap akan ada muncul, mungkin pada posisi Indonesia, hal ini akan memicu kesamaan waktu antara Muhammadiyah dan NU, namun pada masa-masa tertentu ia tidak akan sama pada kiblat, seperti yang diutarakan diatas sebelumnya. Pada suatu saat, kriteria ini akan membelakangi sehari pada kiblat. Karena bisa saja. Semisal saja derajat yang dimaksud adalah 60, pada waktu senja itu telah tiba diwilayah Indonesia “manapun”, posisi bulan belum sampai derajatnya berdasarkan hitungan saintnya, maka demikian pula tidak dapat dilihat secara mata pula pada senja itu di Indonesia, namun ternyata ketika pergiliran senja telah tiba di Mekkah, derajat bulan itu telah sampai atau melebihi 60pada wilayah seputar yang sama dengan Mekkah dan seterusnya itu dan tentu saja dapat dilihat, ketika itu pula Indonesia menggenapkan bulannya/menambah sehari, di Arab sebaliknya telah mencukupi bulannya. Maka kelender tadi tidak dapat dipakai global, hanya dapat dipakai di Indonesia.
Nah disini mungkin kalender ini dapat dipakai global seluruh dunia bila patokannya adalah waktu melihat hilal di Mekkah, atau yang artinya waktu perhitungan saint menunjukkan derajat bulan ketika diatas Mekkah telah sesuai tetapannya, misal 60tadi.
Kenapa Mekkah, padahal banyak pula dalil alam dan dalil nash penguatnya hal ini. Hari raya berbicara tentang “sebuah” sholat juga, ketika sholat jumat, ternyata hari jumat tidaklah berbeda hari untuk sholat jumat ‘DIMANAPUN DI DUNIA”, tragisnya klo sholat hari raya di Mekkah bertepatan dengan hari jumat, ada yang selisih akan sholat dihari raya yang tidak jumat namun tidak beda sholat jumatannya pada waktu itu, adapula dalil tentang hari arafah, dan juga Mekkah adalah pusat dari daratan bumi, hal ini menyebabkan garis Mekkah sebenarnya sebagai pusat 0 waktu dunia, kurangnya faktor-faktor penghalang penglihatan di Mekkah.
Sekedar permisalan, misalkan 4 derajat diatas ufuk adalah derajat dimana hilal dari bulan dapat dilihat mata secara langsung/alat melihat. Misalkan di Indonesia, hilal telah mencapai 0.9 derajat. Maka NU akan menggenapkan bulan karena nyata pula bakal tidak dapat dilihat mata, demikian pemerintah pula (entah bila suatu saat pemerintahannya dari Muhammadiyah, mungkin berubah). Sementara Muhammadiyah akan mencukupi atau mengganjilkan bulan, karena hilal diatas ufuk. Sementara di Mekkah sendiri, ketika pergiliran senja telah tiba, derajat hilal adalah 2.9 yang artinya juga secara nyata tidak dapat dilihat mata/alat penglihatan. Maka di Mekkah akan menggenapkan bulan. Dalam hal ini NU dan Mekkah akan sama kena harinya, Muhammadiyah dahuluan sehari. Kebalikkannya bila di Indonesia, derajat hilal ketika pergiliran senja telah mencapai 2.9 derajat. NU dan biasanya pemerintah akan menggenapkan bulan (karena dalam hal lapangan akan tidak mampu melihat hilal), sementara Muhammadiyah akan mencukupkan bulan, sementara itu 4 jam kemudian, ketika pergiliran senja/pergiliran menjelang malam tiba di Mekkah, hilal disana ternyata terlihat mencapai 4.9 derajat, maka Mekkah akan mencukupi bulan karena hilal akan terlihat mata/alat penglihatan. Mekkah dan Muhammadiyah akan sama harinya, sedangkan NU akan belakangan sehari.
Apakah ada orang Indonesia yang punya kriteria “ikut Kiblat”? ada. Pemerintahan islam atau yang mewakili urusan islam bukan hanya ada di Indonesia, majelis ulama pun demikian, ulama atau ormas yang bermahzab sama pun juga ada diluar, masing-masing punya porsi dan batasan ketaatan dan porsi/batasan apa yang jadi ketidaktaatan. Semisal seorang ulama atau sebuah ormas islam di Indonesia memutuskan menggenapkan bulan, ternyata di wilayah lain, semisal 4 jam kemudian (jarak berdasarkan perbedaan jam), ormas serupa atau bermahzab sama/ulama semahzab sama telah mempersaksikan hilal dan atau “menyepakati” untuk mencukupkan bulan, sementara berita ini dalam hitungan menit sudah terdengar, terlihat atau terbaca di seluruh dunia.
Penentuan hari arafah yang hanya ada disatu tempat saja, yang menentukan lebaran haji, dsb. Dia tidak berbicara yang hanya ala nusantara saja atau dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, yang langitnya sebatas langit lokal saja.
Dan Mereka berselisih setelah pengetahuan itu datang padanya.
Yang dimaksud disini, agar adanya kalender hijriah yang sama secara global yang sudah baku setahun kalender, dan tapi juga (maaf, kurang tahu bagaimanan bahasa tepatnya) secara “seremonialnya” melihat hilal tetap dilakukan untuk memenuhi hadis. Yang kemungkinan tidak akan berselisih antara kalender tadi dan keadaan lapangan penentuan masuk bulannya. Karena ia merujuk kesatu tempat saja (sebagai “fungsi” area kiblat, juga sebagai “fungsi” area ummul qura) dan perhitungan saint kalendernya (kesepakatan tingginya hilal) pada tempat itu pula.
Apakah dalam pergiliran menjelang senja/malam itu, pada wilayah-wilayah yang berbeda-beda tempat dan waktunya, sesuai garis sejajar kiblat maka akan bisa pula terdapat perbedaan derajat hilalnya, para ahlinya tentu lebih faham dan namun ini berdasarkan kira-kira penulis saja, pendapat pribadi penulis saja. Masalah apakah tepat kriterianya dan tepat bila di Mekkah sebagai patokan dan apakah benar-benar kalender seperti itu tidak salah bertahun-tahun, perlu para ahli-ahlinya yang meneliti, dan bagaimanapun untuk menguatkan hal ini perlu adanya ijma bersama dari para ulama-ulama. Dan selama informasi dan komunikasi itu saling tembus hanya hitungan menitan saja dimanapun didunia.
Silahkan untuk memikirkannya atau bahkan memvisualisasikan secara lebih baik dan sebenarnya penulis hanya berharap akan adanya pertemuan lanjutan para ulama-ulama seluruh dunia dengan melibatkan seluruh organisasi dan seluruh golongan dengan tanda kutip “ahlusunnah” untuk membuat bersama ijma ulama yang menyangkut hal-hal teknis ini dan menjadikan patokan untuk dipakai secara keseluruhan di bumi.
Cerita ini hanya fiktif karangan penulis saja.
Bulan ramadhan, sekitar diantara 10 malam terakhir, setelah terawih, diluar masjid, disebuah gang. Seorang sahabat menunggu sahabatnya.
Sahabat satu : “Sob, jalan-jalan ngopi yuk sebentar di cafĂ©!”
Sahabat dua : “Lain kali z, fren! Nanggung nih, ini malam ganjil, malam jumat lagi, mau memperbanyak ibadah nih malam, siapa tau malam laillatul qadar, men!”
Sahabat satu : (terheran-heran) “Loh, bukankah ini malam genap!”
Sahabat dua : “Ahh, itukan islammuuuu, islamku nih sudah masuk malam ganjil, akukan ikut puasa yang dahuluan sehari itu nah!”
Singkat kata, beberapa saat kemudian keduanya adu argumen, tambah lama tambah keras suara-suara terdengarnya, makin keras makin emosi masing-masing mereka jadinya. Setelah berapa lama terdengar suara-suara keras, sahabat ketiga muncul dari masjid. Kemudian ia melerai, menegur, mengingatkan, menjaga persaudaraan dan menanyakan masalah apakah yang terjadi. Setelah mendengarkan dengan seksama dua pendapat dari masing-masing sahabatnya, dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan, setelah berdehem-dehem sebentar lalu sahabat ketiga mengeluarkan pendapat.
Sahabat ketiga : Ohh, gitu toh! Itu z kok repot, sih!”
Kedua-dua sahabat : (serempak menjawab) “Ya, repot dong!”
Sahabat ketiga : “Makanya, kalau nga mau repot, mendingan selalu jaga dan memperbanyak ibadah terlebih di 10 malam terakhir, wong sudah dikasih tahu nabi dari 1400 tahun lalu.”
Kedua-dua sahabat : “Tapi… tapikan… bedanya gimana dong? Apakah kita akan selalu begini?”
Anda-Anda sendiri yang bisa menjawabnya. The end.
Bila ada perbedaan 2 pendapat atau adanya 2 ijtihad yang berbeda, dimana kemudian ditemukan adanya perselisihan yang menyilang antara tanda kutip “ahli sunnah”, bila janji dan amanat diabaikan, seperti: amanat ukhuwah/persaudaraan, amanat berpegang tali Allah SWT secara langsung, menyelisihi sunnah nabi Muhammad SAW, dsb maka tinggalkan perselisihannya, teliti ulang dan lakukanlah apa yang kamu tahu, kerasnya pada dirimu untuk memegang yang kamu tahu kebenarannya, lembut/keras keluar untuk penyikapan perselisihan itu pada sikonnya, jangan terjebak pada kekerasan dari perselisihan tersebut.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra bahwa Rasulullah SAW bersabda ,“Bagaimana denganmu jika kamu berada di tengah kekacauan, janji janji dan amanat mereka abaikan, kemudian mereka berselisih seperti ini ? ”Lalu, beliau menyilangkan antara jari jari. Abdullah bin Amr bertanya, ”Lalu, dengan apa engkau menyuruhku?” Beliau menjawab, “Jagalah rumah, keluargamu, lidahmu, dan lakukanlah apa yang kamu tahu dan tinggalkan yang mungkar, serta berhati hatilah dengan urusanmu sendiri, lalu tinggalkanlah perkara yang umum“(HR Abu Daud dan Nasa’i)
Kenapa harus Kiblat (Kabah) sebagai pusat/patokan, soalnyaAllah SWT telah menunjuk Kabah sebagai pusat dunia dan alam semestapula bahkan sebagai pemersatu semua itu, baik manusia, dunia (bumi) maupun alam semesta ini, bukan hanya sebagai kiblat sholat. Bila Kiblat dihancurkan atau tidak ada orang yang tawaf lagi, maka tunggulah sebentar lagi datangnya kiamat, karena alam semesta akan pula ikut rusak mengikutinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar